Jumat, 15 Juni 2012

kriiik..kriiik...

semestinya, tetaplah, tak ada yang boleh memudarkan senyummu, semangatmu.. :)

tapi, kendali kita atas hati kita masih terbatas.
(baca:labil)

biarkan hati merasa apa yang ingin dirasa: kecewa, kesal, sedih, marah, apapun.
dan, cukupkan sampai di sana.

jangan membiarkan apa yang dirasa hati, menjadi kendali atas sikap & ucapan kita :)

semoga anugerah akal, mampu membuat kita jujur melihat diri,
lalu menkonversi setiap emosi negatif, menjadi motivasi perbaikan diri ^^



***

lucu deh,,
sepagi ini sudah dibikin dongkol.hehe
ada-ada saja.
pinginnya sih, kalu sama kawan lama, dan udah lama ga ngobrol juga. ya yang ditanyain kabar kek, studi, atau kesibukan lah.
ada warming up nya dulu :D


oke, maklumin aja. in other time, semoga aku keinget dengan hal ga mengenakkan yang aku alami ini. so, aku akan berusaha buat gak bikin temenku merasakan hal sama. terjudge tanpa penjelasan sebelumnya.

Kamis, 14 Juni 2012

surga terdekat kita......... :)

“Eli sudah tidur?” Mamak bertanya.


“Sudah.” Wak Yati berbohong.

“Terimakasih sudah menjaganya hari ini, Kak.”
Intonasi suara Mamak terdengar serak,
”Sungguh terimakasih sudah mengurus putri sulungku.”

“Itu sudah menjadi tanggung jawabku.”

“Dia sudah makan malam, Kak?”

“Sudah, Nur. Semua baik-baik saja. Sudahlah! Kau bergegas masuk sana, selimuti anak gadis kau, dan segera pulang. Astaga, kalau sampai Eli menginap di rumahku selama setahun, jangan-jangan kau terus memaksakan memastikan dia sudah tidur malam selama itu pula.”


Di dalam kamar tubuhku bergetar menahan perasaan sesak yang tiba-tiba memenuhi dada. Langkah kaki Mamak terdengar melintasi lantai papan, mendorong pintu kamar. Dengan pemahaman baru yang tiba-tiba datang, dengan kesadaran baru yang seperti meteor, mataku tiba-tiba menjadi panas. Aku bergegas pura-pura tidur.



Mamak masuk ke dalam kamar. Sejenak menatapku. Meraih selimut yang terjatuh di bawah dipan, lantas menyelimutiku. Mengelus pundakku lembut. Mencium dahiku.



Ya ALLAH! Aku tidak tahan lagi untuk tidak menangis. Apa yang telah aku lakukan? Aku telah menuduh Mamak benci padaku? Aku menduga Mamak tidak membutuhkanku lagi? Mamak mengusirku? Aku sungguh tidak pernah tahu, tiga malam terakhir, Mamak selalu datang ke rumah Wak Yati, memastikan aku telah tidur lelap sebelum Mamak kembali ke rumah, tidur. Aku tidak pernah tahu Mamak selalu bertanya pada Wak Yati apakah aku sudah makan, apakah aku baik-baik saja.



Mamak untuk terakhir kali merapikan selimut. Lantas berdiri.



Ya ALLAH! Apa yang telah kulakukan? Bukankah Bapak berkali-kali menjelaskan, aku anak sulung, harapan Mamak tertumpah padaku. Aku anak sulung, sudah seharusnya tanggung jawab mengurus Amelia, Burlian, dan Pukat. Sudah sepatutnya aku membantu mamak, meringankan bebannya. Beban orang yang selalu pertama sekaligus terakhir dalam banyak hal di rumah.



Mamak sudah melangkah keluar kamar.



Aku menjatuhkan selimut. Aku loncat dari atas dipan, lantas memeluk Mamak dari belakang erat sekali.



“Sungguh. Sungguh maafkan Eli, Mak. Aku menangis sesenggukan.

Malam itu aku tahu, kalimat hebat itu selalu benar. Jika kau tahu sedikit saja apa yang telah seorang Ibu lakukan untukmu, maka yang kau tahu itu sejatinya bahkan belum sepersepuluh dari pengorbanan, rasa cinta, serta rasa sayangnya pada kalian.


ELIANA-Tere Liye
Halaman 391-393

Karena Kita Tak Pernah Tahu, Bagaimana Akhir Perjalanan Kita...



Sepenggal kisah dari:
KRPH Sabtu, 9 Juni 2012
Agar  Tidak Berguguran di Jalan Dakwah oleh Ust. Adi Abdillah, S.IP


bismiLlah ^^

kajian diawali dengan kisah tentang salah seorang yang menginspirasi beliau ketika SMA dulu, di Lampung.  Kakak kelas beliau. Seorang muallaf, yang berhasil meniupkan ruh dakwah di SMAnya, berhasil menjadi ketua Rohis inspiratif. Seusai lulus SMA, kakak kelas beliau yang juga cerdas itu, melanjutkan studi ke Jogja (UGM). Namun, ternyata sampai di situlah perjalanan dakwah kakak kelas beliau. Ya, sang aktivis yang dulu ibadahnya tak diragukan lagi, pun akhirnya berguguran.


Dikisahkan pula, dua orang kakak beradik. Sang kakak yang gemar bermaksiat. Beradik seorang ahli ibadah. Sangat kontras. Hingga suatu ketika, di waktu yang bersamaan keduanya merenung. Sang kakak bermuhasabah atas dirinya, fikirnya melayang membayangkan akhirat kelak. Teringat akan berbagai maksiat yang seringkali ia lakukan. Hatinya terketuk untuk bergegas memperbaiki diri, bertaubat. Maka ia dengan bersemangat menaiki tangga, menuju ruang atas, tempat adiknya tekun beribadah.


Di ruang tempatnya beribadah, sang adik pun merenung, merenungi perjalanan hidupnya. Terpukau oleh ibadah-ibadah yang sering ia lakukan. Merasa shalih. Teringat akan kakaknya, sang ahli maksiat. Fikirnya, tak ada salahnya bila sesekali ia mencicipi melakukan maksiat. Toh, setelahnya ia bisa bertaubat. ALLAH pasti mengampuni, yakinnya. Ia pun berlari menuruni tangga, ingin segera menuju ke tempat maksiat.


Dan, di sinilah ALLAH menuliskan taqdir atas keduanya, di tangga rumah kakak beradik itu. Tak terelakkan, keduanya bertabrakan. Jatuh, dan meninggal. Keduanya.


AlhamduliLlah teruntuk sang kakak, dan semoga rahmat Allah menyertai sang adik.

Wallahu a’lam

Karena Kita Tak Pernah Tahu, Bagaimana Akhir Perjalanan Kita...  
Smoga ALLAH menjaga kita, hingga tertaqdir khusnul khotimah. Aamiin ^^


PS: untuk resume materi KRPH  Agar  Tidak Berguguran di Jalan Dakwah oleh Ust. Adi Abdillah, S.IP, inshaALLAH akan diposting selanjutnya ^^


Rabu, 13 Juni 2012

yang melegakan itu...


           Kujumpai lagi sepenggal siang. Siang yang tak begitu terik. Biru beriring awan, sungguh menceriakan. Cerah cerianya yang seharusnya mampu menerangi relung hati. Namun tak mampu rupanya. Ah, bukan sang mentari yang tak mampu terangi... mungkin memang sebongkah hati inilah yang tak mampu membuka relungnya. 

               Episode tentang hati sungguh tak mampu kupahami. Egoku tersering melompat tinggi, tanpa kumampu tuk menggapainya. Lemah. Huh. Itu aku. Yang bahkan egoku sendiri tetap ku tak mampu menahannya sepenuh usahaku.

               Lelah? Seharusnya tidak. Bukankah kedewasaan memang akan dipenuhi dengan hal-hal yang menggalaukan seperti ini. Kekuatanmu mengendalikan galaumu berbanding lurus dengan kadar kedewasaanmu.  Lurus banget. Catet itu :3

               Fiuh. Entahlah, rabu baru separuh perjalanan tapi rasanya sudah tak nyaman saja. Rasa. Ah, seharusnya semenjak aku sadar dan aku tau, disinilah, di ego dan rasaku-lah titik lemahku, aku berusaha membiasakan untuk belajar. Inget kan, di setiap hal yang ingin kita expert di situ, haruslah kita ikhlas buat melewati fase pembelajaran, dahulu.

               Hmm.. dewasalah ^_^ cobalah mengalahkan egomu, sisihkan rasa: kecewamu, sedihmu, kesalmu, marahmu. Dan berjuta emosi yang tak akan membahagiakanmu, pun orang sekelilingmu. Gak perlu lagi deh, kau ikuti rasa yang kau buat sendiri,dan membuatmu perih sendiri.

              Oke! Cukuplah sampai sini saja, el..
 saatnya kau memilih rasa mana, ego mana, emosi mana, yang akan kau ambil.. karna kejernihan hati takkan salah memilih.

          Tak perlu menafikan dan mencari-cari alasan, terlebih pembenaran. Berhenti. Ya, stop! Dan berbaliklah. Tanpa peduli kau salah atau tidak, memohonlah maaf dan sambunglah kembali tali yang mulai merenggang. Percayalah, itu akan lebih melegakan. Untuk hatimu, dan hatinya ^^






di depan lab amami: penantian indah 'tuk sang destilasi
130612
menjemput kumandang ashr..