Kamis, 14 Juni 2012

surga terdekat kita......... :)

“Eli sudah tidur?” Mamak bertanya.


“Sudah.” Wak Yati berbohong.

“Terimakasih sudah menjaganya hari ini, Kak.”
Intonasi suara Mamak terdengar serak,
”Sungguh terimakasih sudah mengurus putri sulungku.”

“Itu sudah menjadi tanggung jawabku.”

“Dia sudah makan malam, Kak?”

“Sudah, Nur. Semua baik-baik saja. Sudahlah! Kau bergegas masuk sana, selimuti anak gadis kau, dan segera pulang. Astaga, kalau sampai Eli menginap di rumahku selama setahun, jangan-jangan kau terus memaksakan memastikan dia sudah tidur malam selama itu pula.”


Di dalam kamar tubuhku bergetar menahan perasaan sesak yang tiba-tiba memenuhi dada. Langkah kaki Mamak terdengar melintasi lantai papan, mendorong pintu kamar. Dengan pemahaman baru yang tiba-tiba datang, dengan kesadaran baru yang seperti meteor, mataku tiba-tiba menjadi panas. Aku bergegas pura-pura tidur.



Mamak masuk ke dalam kamar. Sejenak menatapku. Meraih selimut yang terjatuh di bawah dipan, lantas menyelimutiku. Mengelus pundakku lembut. Mencium dahiku.



Ya ALLAH! Aku tidak tahan lagi untuk tidak menangis. Apa yang telah aku lakukan? Aku telah menuduh Mamak benci padaku? Aku menduga Mamak tidak membutuhkanku lagi? Mamak mengusirku? Aku sungguh tidak pernah tahu, tiga malam terakhir, Mamak selalu datang ke rumah Wak Yati, memastikan aku telah tidur lelap sebelum Mamak kembali ke rumah, tidur. Aku tidak pernah tahu Mamak selalu bertanya pada Wak Yati apakah aku sudah makan, apakah aku baik-baik saja.



Mamak untuk terakhir kali merapikan selimut. Lantas berdiri.



Ya ALLAH! Apa yang telah kulakukan? Bukankah Bapak berkali-kali menjelaskan, aku anak sulung, harapan Mamak tertumpah padaku. Aku anak sulung, sudah seharusnya tanggung jawab mengurus Amelia, Burlian, dan Pukat. Sudah sepatutnya aku membantu mamak, meringankan bebannya. Beban orang yang selalu pertama sekaligus terakhir dalam banyak hal di rumah.



Mamak sudah melangkah keluar kamar.



Aku menjatuhkan selimut. Aku loncat dari atas dipan, lantas memeluk Mamak dari belakang erat sekali.



“Sungguh. Sungguh maafkan Eli, Mak. Aku menangis sesenggukan.

Malam itu aku tahu, kalimat hebat itu selalu benar. Jika kau tahu sedikit saja apa yang telah seorang Ibu lakukan untukmu, maka yang kau tahu itu sejatinya bahkan belum sepersepuluh dari pengorbanan, rasa cinta, serta rasa sayangnya pada kalian.


ELIANA-Tere Liye
Halaman 391-393

2 komentar: